Membaur, bukan melebur
Kau boleh sesekali membaur pada berbagai kesedihan. Membiarkannya membasuh kepalamu, mengisi cawan-cawan dalam hatimu menjadi sebuah sakit hati, atau mengisi seluruh dadamu dengan sesak yang tak terkira.
Kau boleh sesekali membaur pada berbagai kesedihan. Membiarkan ia membawamu pada masa dimana kau hanya bisa terkulai lemas, meratapi nasib, menyesali takdir sampai menyadari semuanya tak lain tak bukan cumalah kesia-siaan.
Kau boleh sesekali membaur pada berbagai kesedihan. Membiarkan ia mengunci langkah kakimu sampai terurung niatmu untuk beranjak dari kasur, terbaring berhari-hari bersama sengguk-sengguk dan air mata yang mengering di wajah, merasakan penat sungguh penat namun tak kunjung bisa lelap.
Kau boleh sesekali membaur pada berbagai kesedihan yang membuatmu lupa akan segala. Membiarkannya menghantui raga, merasuki jiwa, lalu terlena dan terbuai seolah dunia ini sudah hampir tak ada sebab kesedihanmu sudah merajalela.
Kau boleh tersiksa, nyaris mati bahkan sekarat dibuat kesedihanmu itu, tapi yakinlah tak kau seorang saja yang merasa demikian. Ada kalanya kau bangun, menyadari semuanya sudah cukup, lalu melangkah untuk hidup, meninggalkan tumpukan sedihmu yang sudah busuk di suatu tempat bernama masa lalu, lantas berlari mengejar apa yang hampir terlewati sebelum itu kau sesali.
Ya, bersama seluruh kesedihan itu, kau boleh membaur tapi jangan sampai melebur.
—
Cukuplah hujan siang ini mengajak sedihku membaur, jangan sampai ku ikut melebur.
Comments
Post a Comment