Skip to main content

Membaur, bukan melebur

Membaur, bukan melebur


Kau boleh sesekali membaur pada berbagai kesedihan yang ada di dunia. Membiarkan setiap derai tangis dan tetes air mata mengisi kehidupan, memenuhi setiap sendi-sendi kehidupan, sebagai saksi bahwa kau punya hati, kau punya perasaan.

Kau boleh sesekali membaur pada berbagai kesedihan. Membiarkannya membasuh kepalamu, mengisi cawan-cawan dalam hatimu menjadi sebuah sakit hati, atau mengisi seluruh dadamu dengan sesak yang tak terkira.


Kau boleh sesekali membaur pada berbagai kesedihan. Membiarkan ia membawamu pada masa dimana kau hanya bisa terkulai lemas, meratapi nasib, menyesali takdir sampai menyadari semuanya tak lain tak bukan cumalah kesia-siaan.

Kau boleh sesekali membaur pada berbagai kesedihan. Membiarkan ia mengunci langkah kakimu sampai terurung niatmu untuk beranjak dari kasur, terbaring berhari-hari bersama sengguk-sengguk dan air mata yang mengering di wajah, merasakan penat sungguh penat namun tak kunjung bisa lelap.

Kau boleh sesekali membaur pada berbagai kesedihan yang membuatmu lupa akan segala. Membiarkannya menghantui raga, merasuki jiwa, lalu terlena dan terbuai seolah dunia ini sudah hampir tak ada sebab kesedihanmu sudah merajalela.

Kau boleh tersiksa, nyaris mati bahkan sekarat dibuat kesedihanmu itu, tapi yakinlah tak kau seorang saja yang merasa demikian. Ada kalanya kau bangun, menyadari semuanya sudah cukup, lalu melangkah untuk hidup, meninggalkan tumpukan sedihmu yang sudah busuk di suatu tempat bernama masa lalu, lantas berlari mengejar apa yang hampir terlewati sebelum itu kau sesali.

Ya, bersama seluruh kesedihan itu, kau boleh membaur tapi jangan sampai melebur.


    Cukuplah hujan siang ini mengajak sedihku membaur, jangan sampai ku ikut melebur.

Comments

Popular posts from this blog

As A Wife

Menjalani kehidupan dengan peran baru sebagai seorang istri, sebuah amanah yang tampaknya harus diemban wanita dua puluh empat tahun ini. Dari sepersekian proses adaptasi, mungkin untuk sepenuh hati tunduk kepada suami selama seumur hidup adalah proses belajar yang tentunya memerlukan waktu yang tidak sebentar. Bukan hal mudah bagi dua kepala dengan perbedaan pola asuh dan karakter ini dalam menarik benang merah saat proses penyesuaian berlangsung terutama dalam menyatukan perspektif. Bagaimanapun, tidak ada pasangan yang benar-benar sempurna. Yang ada ialah mereka yang mampu melengkapi ketidaksempurnaan tersebut dan menjadikannya ideal dengan versinya sendiri. Setiap hari dituntut untuk saling belajar dan mau berbenah diri. Belajar tidak memberi makan ego, belajar bagaimana komunikasi efektif, belajar menjadi pendengar, belajar membaca dan memaknai sinyal semesta. Dan sebaik-baiknya tujuan berpasangan adalah bersama-sama memburu cinta Sang Pencipta, bagaimana agar saling back up iman

Final Destination

Ya Allah, hamba telah berusaha menjaga diri dari apa-apa yang engkau larang. Berilah hamba kekuatan untuk selalu berada di jalan yang Engkau ridhoi. Lindungi hamba dari hal buruk yang akan membuat hamba jauh dari-Mu. Perkenankan hamba mendapat balasan yang manis dari-Mu kelak Ya Rabb. Hamba yakin janji-Mu selalu Engkau tepati. Jika kematian baik untukku, maka hamba ikhlas menerima takdir-Mu. Perkenankan hamba menjadi sebaik-baiknya seorang hamba sebelum kembali ke sisi-Mu. Hamba meminta akhir yang baik, dalam keadaan sedang mengingat-Mu dengan setinggi-tingginya iman.  Semoga pada akhirnya nanti, Allah panggil dengan lembut layaknya dalam Surah Al-Fajr ini: يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي (30) “ Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku .” (QS. Al-Fajr: